Memo.co.id
Penggunaan dana bantuan perusahaan Corporate Sosial Responsibily (CSR) dari perusahaan di Kabupaten Blitar tidak jelas jluntrungnya. Hal inilah yang membuat DPRD Kabupaten Blitar, mempercepat dilakukannya hak angket kepada bupati.
Geramnya H. Sunarto, ST salah satu anggota Badan Pembentukan Perda ditolak eksekutif. Sehingga, kasus CSR yang diduga dari pabrik gula RMI, pertahun mencapai 2 miliar tidak jelas aliran dananya.
Padahal di Kabupaten Blitar banyak perusahaan besar, seperti pabrik susu greenfield, diantaranya. Sehingga Sunarto terus berjuang mengusulkan pembentukan pengelolaan dana CSR yang mencapai miliaran rupiah.
“Wajar masyarakat menuntut hak angket. Seperti dana CSR gak jelas jluntrungnya. Kami berkali-kali mengusulkan Perda, namun tidak digubris eksekutif,” ujarnya.
Tak pelak isu yang berkembang menjadi liar. Dana tanggungjawab perusahaan, yang mestinya diperuntukkan kesejahteraan sosial masyarakat akhirnya tidak jelas arahnya. Bahkan, TP2ID yang diterpa isu yang mengelola dana tersebut. Namun telah dibantah ketua TP2ID, Sigit Purnomo.
“TP2ID hanya bertanggungjawab kepada bupati dan hak prerogatif bupati bila mau membubarkan TP2ID. Gaji saya saja hanya Rp. 750 Ribu tanpa fasilitas apapun. Saya lebih faham di dinas kesehatan. Karena saya membantu di rumah sakit Srengat dan Wlingi. Dan saya bahkan tidak ada kewenangan untuk memanggil OPD terkait. Saya tidak ada kuasa, rotasi, mutasi maupun anggaran,” bebernya.
Sedangkan isu TP2ID yang mempengaruhi kebijakan bupati di segala lini, termasuk mengelola berbagai proyek dan anggaran telah dibantahnya. Namun, para OPD merasa resah adanya badan bentukan bupati yang membuat gaduh di tengah masyarakat.
Sedangkan, Sunarto meminta masyarakat tetap tenang menjaga kondusifitasnya. Politisi Nasdem itu berjanji, melalui legislasi mendukung teman-temannya membuat hak angket.
“Masalah dan kasus yang beredar banyak tentang kebijakan bupati. Diantaranya, sewa rumah dinas wakil bupati (wabup), rumah milik bupati, duwitnya yang nerima bupatinya. Terus soal dana CSR masyarakat yang punya hak menanyakan dana CSR tersebut. Lebih baik dilakukan hak angket, biar mereka menjelaskan. Tidak membuat gaduh sekarang ini. Beberapa tokoh pergerakan menggelorakan hak angket. Kita wakil rakyat akan menindaklanjuti masukan tersebut,” pintanya.
Belum lagi badan-badan milik daerah terus merugi. Kita kan perlu menanyakan, pengelolaanya seperti apa. Dilanjutkan Sunarto, carut-marutnya kebijakan bupati, karena santer disetir TP2ID. Sehingga para OPD tidak bisa mengelola anggaran sesuai aturan yang ada. Setelah gaduh rumah dinas, kasus dana CSR terkuak. Mestinya, pihak APH menindaklanjuti, masyarakat keburu tidak percaya.
“Contoh kasus kepolisian telah memanggil para pihak berkaitan sewa rumah dinas, masuk angin kan,” ungkap PS yang getol mengawal kebijakan Bupati Blitar kepada memo. (Pra)